Jumat, 04 Januari 2013

Belajar sejarah lewat museum

         Libur minggu tenang di awal tahun itu memang menyenangkan, langkah awal perjalanan saya dimulai dengan mengunjungi kota yang berjuluk The Spirit of Java, apalagi kalau bukan kota Solo. begitu menginjakkan kaki di kota ini kehangatan menyambutku, keramahan para warga begitu sangat terasa di tiap-tiap sudut kota. inilah salah satu kota budaya yang sangat saya kagumi. saya merencanakan berkunjung ke kota ini beberapa bulan lalu, namun baru terlaksana hari ini (3/01/12) luar biasa sekali rasanya. sehari rasanya tak cukup untuk menjelajahi kota ini, menikmati wisata sejarah, budaya dan kuliner adalah hal yang sangat saya sukai dari kota ini. 
          museum adalah tempat pertama yang kusambangi. sebagai seorang yang ber-passion di bidang jurnalistik saya mengunjungi museum yang sangat fenomenal dan sangat terkenal dikalangan jurnalis. tentunya tidak asing lagi yaitu Monumen Pers Nasional. saya yakin masih banyak para pembaca yang belum mengetahui tentang sejarah dan seluk beluk museum ini. berkunjung ke museum ini menumbuhkan minat dan kecintaan saya terhadap dunia per-museuman di Indonesia, ini juga yang akan menjadi hal awal di blog saya yang saya beri label Ayo ke museum. lewat museum begitu banyak pelajaran yang didapat dari kisah masa lalu yang penuh perjuangan. 
             tidak berlebihan bila saya mengatakan bahwa museum ini memang luar biasa, tak mengesankan angker sama sekali. penataan koleksi juga sangat baik, ditambah lagi keramahan para petugasnya dan anda tidak dipungut biaya sepeserpun untuk menikmati layanan museum seperti : media centre, papan baca, perpustakaan, dokumentasi, riset dan kunjungan ilmiah. di museum ini juga kita dimanjakan dengan benda-benda peninggalan yang sangat bersejarah bagi perkembangan dunia pers di Indonesia. berikut adalah sejarah singkat mengenai museum pers nasional yang saya ambil dari brosur museum yang beralamat di jl. Gadjah Mada No. 59 Surakarta.

Gedung museum tampak dari depan. sumber foto : ahmedfikreatif.wordpress.com


Sejarah singkat monumen pers nasional.

Gedung monumen pers adalah gedung yang sarat sejarah. Pada tahun 1933 di  gedung ini, diadakan rapat yang dipimpin oleh RM. Ir. Sarsito Mangunkusumo yang melahirkan stasiun radio baru yang bernama Soloche radio vereeniging (SRV) sebagai radio pertama kaum pribumi dengan semangat kebangsaan. Di gedung ini pula, organisasi profesi kewartawanan  pertama yaitu PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) terbentuk pada 9 februari 1946, sehingga tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari lahir PWI dan hari pers nasional.
                Untuk memperingati peristiwa pers bersejarah tersebut, maka PWI dengan restu presiden dan dukungan pemerintah serta masyarakat,  menetapkan bekas gedung “Sasana soeka” tersebut untuk dijadikan monumen pers nasional. Semula gedung ini adalah societeit milik kerabat mangkunegaran, gedung ini dibangun atas prakarsa KGPAA Sri Mangunkusumo VII, pada tahun 1918 dan diperuntukkan sebagai balai pertemuan. Gedung ini pernah menjadi markas besar palang merah indonesia. Pada awal kemerdekaan, tepatnya pada hari sabtu pahing 9 februari 1946, dilaksankanlah konferensi wartawan pejuang kemerdekaan indonesia dengan Mr.Soemanang terpilih sebagai ketuanya.
                Peringatan dasawarsa PWI ada 9 februari 1956, tercetuslah suatu gagasan yang mendirikan yayasan museum pers Indonesia. Gagasan ini dicetuskan oleh B.M. Diah, S. Tahsin, Rosihan anwar, dll, yang akhinya pada 22 mei 1956  dengan pengurusnya anatara lain R.P. Hendro, Kadiono, Sawarno projodikoro, Mr. Sulistyo, Soebakti, dengan modal utamanya waktu itu koleksi bukudan majalah milik Soedarjo tjokrosisworo. Kemudian pada kongres palembang tahun 1970 muncullah niat mendirikan museum pers nasional, dalam peringatan seperempat abad PWI 9 februari 1971 menteri penerangan Budiardjo menyatakan pendirian museum pers nasional di surakarta , dan pada kongres Tretes tahun 1973, nama museum pers nasional dicetuskan di palembang, diubah menjadi monumen pers nasional atas usul PWI cabang surakarta.
                Berdasarkan surat keputusan gubernur kepala daerah tingkat 1 Jawa Tengah nomor HK.128/1997 tertanggal 31 desember 1977 atas tanah dan gedung societeit tersebut diserahkan kepada panitia pembangunan monumen pers nasional dibawah departemen penerengan RI, atas prakarsa menteri penerangan Ali murtopo yang mendapat dukungan dari asosiasi importir film kelompok eropa-amerika, terwujudlah gedung monumen pers nasional yang terdiri dari dua unit bangunan 2 lantai, satu unit bangunan 4 lantai disamping penyempurnaan dan pemugaran gedung utama.
                Tanggal 9 februari 1978 presiden Soeharto meresmikan gedung Societeit Sasana Suka menjadi monumen pers nasional dengan penandatangan prasasti. Gedung monumen pers tersebut selanjutnya dikelola oleh yayasan Pengelola Sarana Pers Nasional yang berada di bawah departemen penerangan sesuai dengan surat keputusan menteri penerangan RI No. 145/KEP/MENPEN/1981. Yayasan ini bertugas mengatur dan mengorganisir fungsi dan pemeliharaan sarana-sarana pers nasional termasuk gedung dewan pers di Jakarta dan monumen pers nasional di Solo.
                Setelah departemen penerangan dilikuidasi , monumen pers nasional menginduk ke BIKN (Badan Informasi Komunikasi Nasional) dan dalam perkembangan berikutnya pada tahun 2002 monumen pers nasional ditetapkan menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) lembaga informasi nasional berdasarkan keputusan kepala lembaga Informasi Nasional No. : 37/SK/KA.LIN/2002 tanggal 19 juni 2002. Kemudian pada tahun 2005 berada di direktorat jenderal sarana komunikasi dan diseminasi informasi departemen komunikasi dan informatika sesuai dengan peraturan menteri komunikasi dan informatika RI No. 21/Per/M.Kominfo/4/2007 tanggal 30 April 2007. Kemudian mulai tanggal 16 Maret melalui Peraturan menteri komunikasi dan informatika No. 06/PER/M.KOMINFO/03/2011 tentang organisasi dan tata kerja monumen pers nasional diputuskan bahwa monumen pers nasional adalah UPT di lingkungan direktorat Jendral Informasi dan komunikasi publik kementrian komunikasi dan informatika.